Rivalitas yang Berujung Der Klassiker di Wembley

Jakarta - "Terima
kasih karena telah
menciptakan
permainan yang kami
cintai". Demikian
kata-kata yang
tertera di salah satu
billboard Borussia
Dortmund yang
ditujukan pada publik
Inggris.
Ya, malam nanti
salah satu stadion
legendaris Inggris,
Wembley, akan
mengasuh salah satu
partai final terakbar
musim ini: Bayern
Muenchen vs
Borussia Dortmund.
Sedikit ironis
memang. Di saat
salah satu asosiasi
sepakbola tertua di
dunia, FA,
merayakan 150 tahun
ulang tahunnya,
mereka terpaksa
hanya jadi host yang
baik. Di hadapan
publiknya sendiri,
Inggris harus
mengasuh final untuk
dua tim dari salah
satu rival
terbesarnya, Jerman.
Namun ironi Inggris
yang tak mampu
berpesta di
kandangnya sendiri
sepatutnya tidak
mengurangi fokus
pada Bayern dan
Dortmund, kedua tim
terbaik di Eropa saat
ini. Dengan
mengusung pola
bermain yang
berbeda, keduanya
mampu mematahkan
dua raksasa asal
Spanyol, Real Madrid
dan Barcelona.
Bayern menggulung
Barcelona dengan
aggregat 7-0,
sementara Dortmund
menghempaskan
Real Madrid melalui
agregat 4-3. Partai
penuh gengsi El
Classico pun akhirnya
tak tercipta di
Wembley dan
berganti dengan Der
Klassiker.
Bagi Bayern dan
Borussia sendiri, Der
Klassiker di final ini
seakan jadi puncak
persaingan keduanya
yang muncul dalam 3
tahun terakhir.
Kebangkitan
Dortmund dari
masalah finansial
(ditandai dengan
juara Bundesliga dua
tahun berturut-turut)
kemudian dijawab
oleh Bayern di musim
ini dengan
menciptakan salah
satu tim terbaik di
Jerman sepanjang
masa. Berbagai
rekor kemudian
dipecahkan oleh
Heynckes dan anak-
anak asuhnya di
Bundesliga, mulai
dari kebobolan
paling sedikit hingga
rentetan
kemenangan
terbanyak.
Sebagai raksasa
sepak bola Jerman
dan Eropa, tentu
Bayern tak ingin
panggungnya dicuri
terus menerus oleh
Borussia, tim yang
kini populer dan
disukai banyak fans
lain.
Menilik sejarah
pertemuan mereka
di tahun-tahun
terakhir, bisa
dikatakan Dortmund
memiliki keunggulan.
Dari 9 kali bertemu
di tiga tahun
terakhir, mereka
bisa mengalahkan
Bayern 5 kali.
Sementara Bayern
hanya pernah 2 kali
menang atas Robert
Lewandowski dan
kawan kawan.
Namun, dua kali
kemenangan FC
Hollywood ini datang
dalam 4 pertemuan
terakhir (dua lainnya
berakhir imbang). Ini
bisa diartikan dua
hal, yaitu Bayern
yang mulai mengejar
Dortmund dalam
kualitas permainan,
atau Jupp Heynckes
yang mulai hafal
dengan strategi
Juergen Klopp.
Secara taktikal
sendiri, ada tiga hal
menarik yang bisa
diamati dari
pertemuan kedua tim
ini.
Penguasaan Bola vs
Transisi
Meski mampu
menguasai
Bundesliga dalam
tiga tahun terakhir,
baik Bayern dan
Dortmund
melakukannya
dengan cara
berbeda.
Di bawah instruksi
Klopp, Dortmund jadi
tim yang sangat
pintar menggunakan
momen transisi dari
bertahan ke
menyerang secara
cepat untuk
menghabisi lawan. Di
awal-awal
kebangkitan Borussia
di lapangan hijau,
mereka memang
acap kali bertahan
secara dalam
kemudian menyerang
dengan energi penuh
lewat serangan balik.
Bahkan, saat
mengalahkan Bayern
2-0 pada Oktober
2010, pertemuan
pertama di 3 tahun
terakhir, Bayern
sampai memiliki
penguasaan bola
hingga 65%.
Dengan melepaskan
ball-possesion,
Dportmund lebih
memilih untuk
menguasai zona. Ini
juga diakui oleh
Klopp yang
memodelkan timnya
(salah satunya) dari
Arrigo Sacchi dan AC
Milan di awal 90-an.
Klopp akan mengisi
latihan timnya
dengan sesi
"mengendalikan
ruang" dan
memposisikan
pemainnya untuk
mempengaruhi
lawan, meski tanpa
bola. Melalui sesi
shadow play, Klopp
pun mengajarkan
timnya untuk
memanfaatkan
koordinasi dan waktu
sebaik mungkin.
"Sebelumnya, kami
hanya berlari
mengejar lawan
hingga capai.
Namun, dengan
memanfaatkan zona,
saya belajar caranya
membangun
permainan dan tak
hanya
menghancurkannya,"
ucap Klopp pada La
Gazetta dello Sport
mengenai cara
bermain Dortmund.
Ini berbeda dengan
gaya yang dimanikan
oleh Bayern di
bawahHeynckes.
Secara aktif, Bayern
berusaha menguasai
dan merebut bola
dari kaki lawan.
Karena itu tak heran
di UCL ini Bayern
memiliki ball
possesion hingga
54,2% per game,
sementara Borussia
hanya 44,9%. Tak jadi
keanehan juga jika
Bayern jadi tim yang
paling agresif, dan
telah mengoleksi 28
kartu kuning, dan
BVB hanya
mendapatkan 13.
Kedua pemain sayap,
Franck Ribery dan
Arjen Robben, yang
semula terkenal
egois dan tak pernah
membantu
pertahanan, pun kini
aktif turun-naik dan
membantu David
Alaba dan Philipp
Lahm dalam
menahan gempuran
dari sayap lawan.
Sebagaimana
Barcelona yang
menggunakan
penguasaan bola
sebagai salah satu
cara bertahan,
Bayern pun memiliki
prinsip yang sama.
Dengan menguasai
ball-possesion,
Bayern merebut
kesempatan
lawannya untuk
menyerang. Ini
terbukti dengan
Bayern yang hanya
memberikan
lawannya rata-rata
9,2 kali percobaan ke
arah gawang dalam
satu pertandingan,
tertinggi diantara
tim-tim lainnya yang
bermain hingga
minimal perempat
final.
4-2-3-1
Mengandalkan gaya
bermain yang
berbeda, baik Bayern
dan Dortmund sama-
sama menggunakan
formasi 4-2-3-1 saat
bermain. Ini
sesungguhnya
mencerminkan tren
yang sedang
melanda Bundesliga
dalam 5 tahun
terakhir.
Hingga 2008, tim-tim
Jerman acapkali
menggunakan
formasi 4-4-2 ala
Jerman yang
mengandalkan
serangan melalui
sayap. Namun, pada
2011, telah ada lebih
dari 10 tim yang lebih
memilih formasi
4-2-3-1. Tren ini pun
diikuti dengan
kencenderungan
untuk memposisikan
dua pemain tengah
yang sama baiknya
dalam bertahan
maupun mengalirkan
bola, ketimbang
memasangkan satu
hard-defensive
midfielder dan satu
playmaker.
Merebaknya tren ini
sedikit banyak
dipengaruhi oleh tiga
pelatih: Klopp,
Joachim Loew, dan
Lous Van Gaal ketika
menangani Die
Roten.
Kala itu, Klopp
sempat mengubah
peran Nuri Sahin dari
seorang attacking
midfielder menjadi
pemain tengah yang
berduet dengan
Tinga di lini tengah.
Sementara itu, di
timnas Jerman Loew
mulai memasangkan
Michael Ballack dan
Simon Rolfes di
tengah untuk
menopang Mesut
Oezil sebagai
pembagi bola di area
sepertiga lapangan
akhir.
Kemunculan Bastian
Schweinsteiger
sebagai salah satu
pemain tengah
terbaik di dunia pun
patutnya diatributkan
pada perubahan
formasi ini. Kala itu,
Van Gaal menarik
Schweini dari sayap
dan
memasangkannya
dengan Van Bommel
sebagai double-pivot.
Schweini yang
memang tidak
memiliki kecepatan
untuk bermain di
posisi sayap, atau
sebagai playmaker di
depan, kemudian
seakan menjelma
jadi pemain baru
dengan peran
barunya di tengah.
Menurut salah
seorang jurnalis
terkemuka asal
Jerman, Uli Hesse,
tren ini sebenarnya
berpihak pada jenis
sepak bola cantik,
atau sepak bola
menyerang yang
beresiko. Ini
dikarenakan 4-2-3-1
juga disertai dengan
adanya kebutuhan
untuk melakukan
pressing tinggi di
daerah pertahanan
lawan yang secara
fisik dan mental akan
menghabiskan energi
pemain.
Namun, bagi pecinta
sepakbola yang
sedang menanti
partai final malam
nanti, kedua tim
yang mengusung
permainan
menyerang tentu
akan jadi satu hal
yang dinanti-
nantikan.
Defensive Forward
Selain karena
formasi 4-2-3-1,
benang merah
antara Bayern dan
Dortmund terletak
pada penggunaan
seorang ujung
tombak yang juga
fasih dalam
bertahan, atau lebih
dikenal dengan
defensive forward.
Dalam hal ini, Bayern
menggunakan Mario
Mandzukic
sementara Dortmund
memiliki
Lewandowski.
Selain karena
kemampuan dalam
menjebol gawang
lawan, keduanya
memang acap dipuji
karena kerja keras
mereka dalam
membantu bertahan.
Ini, misalnya, terlihat
dari jarak yang di-
cover oleh
Lewandowski dan
Mandzukic di Liga
Champions.
Bermain selama 630
menit, Mandzukic
telah "menempuh"
jarak sejauh 76,5 km,
atau rataan 10,9 km/
pertandingan.
Sementara
Lewandowski lebih
unggul dengan
rataan 11,1 km/
pertandingan, atau
total 123,1 km dalam
1.000 menit
permainan.
Namun, satu data
yang menunjukkan
bagaimana baik
Lewandowski
maupun Mandzukic
acap kali membantu
dengan defensive
action-nya, adalah
jumlah pelanggaran
yang dilakukan
kedua tim. Sejauh ini,
Lewandowski telah
mencetak 25 kali
foul, lebih banyak
dari kedua pemain
tengah Dortmund,
yaitu Bender (15 kali
foul), dan Guendogan
(7). Sementara itu
Mandzukic juga telah
melakukan 25
pelanggaran,
padahal Martinez
hanya 22 kali dan
Schweisnteiger 13
kali.
Selain dengan
defensive action,
kedua striker yang
apik mengontrol bola
dengan kondisi
membelakangi
gawang pun fasih
melakukan pressing
terhadap center-
back, atau menarik
keluar bek lawan
dengan bergerak
melebar. Keduanya
memang bukan
bertipe poacher yang
lebih sering
menunggu bola di
kotak penalti.
Satu hal yang bisa
jadi catatan adalah,
jika mengembalikan
khitah seorang
striker untuk
mencetak gol,
Lewandowski jelas
lebih unggul
dibanding Mandzukic.
Sepanjang
penyelenggaraan
Liga Champion
musim ini, ia telah
mencetak 10 gol dan
2 assist. Sementara
itu, Mandzukic hanya
berkontribusi 2 gol
dan 1 assist dalam 9
pertandingan. Empat
gol yang dicetak
Lewandowski ke
gawang Real Madrid
juga jadi salah satu
penampilan
individual paling baik
di kompetisi musim
ini.
Perkiraan susunan
pemain:
Borussia Dortmund:
Weidenfeller;
Schmelzer, Subotic,
Hummels, Piszcek;
Bender, Gundogan;
Grosskreutz, Reus,
Blaszczykowski;
Lewandowski.
Bayern Muenchen:
Neuer; Lahm,
Boateng, Dante,
Alaba;
Schweinsteiger,
Martinez; Robben,
Muller, Ribery;
Mandzukic
==
Akun twitter penulis:
@vetriciawizach dari
@panditfootball

Komentar

Postingan Populer